Senin, 17 November 2014

PERINTAH NABI SUPAYA MENGIKUTI BID'AH PARA SAHABAT (SUNNAH SAHABAT)

PERINTAH NABI SUPAYA MENGIKUTI BID'AH PARA SAHABAT (SUNNAH SAHABAT)

HADITS KE-1


Artinya : 
"Pegang teguhlah Sunnah aku dan sunnah Khalifah-Khalifah Rasyidin sesudah aku, pegang teguhlah dengan gerahammu”. (Hadits riwayat Imam Abu Daud dan Tirmidzi. Lihat Sunan Abu Daud Juzu’ II hal. 201)

HADITS KE-2

Nabi bersabda,

Artinya :   
“Bahwasanya Bani Israil telah berfirqah-firqah sebanyak 72 millah (firqah) dan akan berfirqah umatku sebanyak 73 firqah, semuanya masuk neraka kecuali satu”.
Sahabat-sahabat yang mendengar ucapan ini bertanya, “Siapakah yang satu itu ya Rasulullah?”
Nabi menjawab, “Yang satu itu ialah orang yang berpegang (beri i’tiqad) sebagai peganganku (i’tiqadku) dan pegangan sahabat-sahabatku”. (Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, lihat ShahihTirmidzi juz X)

HADITS KE-3

Tersebut dalam kitab Thabrani, bahwa Nabi bersabda:

 
   
Artinya :   
“Demi Tuhan yang memegang jiwa Muhammad di tangan-Nya, akan berfirqah ummatku sebanyak 73 firqah yang satu masuk surga dan yang lain masuk neraka”. 
Bertanya para sahabat, “Siapakah firqah (yang tidak masuk neraka) itu ya Rasulullah?”
Nabi menjawab, “Ahlussunnah wal Jama’ah”. (Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Thabrani).

Hadits yang serupa ini artinya tersebut juga dalam kitab “Al-Milal wan Nihal” juz I halaman 11, karangan Syahrastani (wafat: 548 H).

HADITS KE-4

Artinya : “Menyampaikan Rasullah SAW akan pecah ummatku menjadi 73 golongan, yang selamat satu golongan dan sisanya hancur, ditanya siapakah yang selamat Rasulullah? Beliau menjawab, “Ahlussunnah wal Jama’ah”, Beliau ditanya lagi apa maksud dari Ahlussunnah wal Jama’ah? Beliau menjawab, “Golongan yang mengikuti sunnahku dan sunnah sahabatku”. 

HADITS KE-5

Kemudian beliau memberi kami nasehat:

Artinya:
“Saya beri wasiati kamu sekalian supaya kamu bertaqwa kepada Allah, mendengar dan patuh kepada Kepala (Ulil Amri), walaupun Ulil Amri itu orang berkulit hitam sekalipun. Selanjutnya beliau mewasiatkan; siapa yang hidup lama di antara kamu kemudian aku, niscaya ia akan melihat perselisihan yang banyak. Pada waktu itu hendaklah kamu mengikut Sunnahku dan Sunnah Khalifah-khalifah Rasyidin yang dapat petunjuk yang benar. Pegang teguh semua itu dan gigitlah dengan gerahammu. Jauhilah perkara baru yang diada-adakan (bid’ah), karena “semua” yang baru yang diada-adakan itu adalah bid’ah dan “semua bid’ah” itu adalah sesat”. (HR. Abu Daud lihat Sunan Abu Daud juz 4 – hal 201)


HADITS KE-6

Nabi Muhammad SAW bersabda:
 Artinya:
Dari Mu’adz bin Jabal, bahwasanya Rasulullah SAW ketika mengutusnya ke Yaman bertanya kepada Muadz: “Bagaimana caranya engkau memutuskan perkara yang dibawa ke hadapanmu?”  
“Saya akan memutuskannya menurut yang tersebut dalam Kitabullah”; kata Muadz.
Nabi bertanya lagi: “Kalau engkau tidak menemukannya dalam Kitabullah, bagaimana?”
Jawab Muadz: “Saya akan memutuskannya menurut Sunnah Rasul”.
Nabi bertanya lagi: “Kalau engkau tak menemui itu dalam sunnah Rasul, bagaimana?”
Muadz menjawab: “Ketika itu saya akan ber-ijtihad, tanpa bimbang sedikitpun”.
Mendengar jawaban itu Nabi Muhammad SAW meletakkan tangannya ke dadanya dan berkata:
“Semua puji bagi Allah yang telah memberi taufiq utusan Rasulullah sehingga menyenangkan hati RasulNya.”
(Hadits Riwayat Imam Tirmidzi dan Abu Daud – Sahih Tirmidzi juz II, hal. 68 – 69, dan Sunnah Abu Daud, juz III – halaman 303).

Dalam hadits ini Imam Mujtahid diberi izin seluas-luasnya untuk ber-ijtihad bilamana hukum-hukum sesuatu tidak ditemui dalam Al-Qur’an dan Hadits.

Ternyata dalam hadits ini Muadz bin Jabal dianjurkan berbuat “BID’AH HASANAH” seluas-luasnya.

 HADITS KE-7

Dalam kitab Hadits Bukhari tersebut:



Artinya:
Dari Abdurrahman bin Abdul Qarai, beliau berkata: “Saya keluar bersama Sayyidina Umar bin Khattab (Khalifah Rasyidin) pada suatu malam bulan Ramadhan ke masjid Madinah.
Didapati dalam masjid itu orang-orang sembahyang tarawih bercerai-cerai. Ada yang sembahyang sendiri-sendiri, dan ada yang sembahyang dengan beberapa orang di belakangnya. Maka Sayyidina Umar berkata, “Saya berpendapat akan mempersatukan orang-orang ini. Kalau disatukan dengan seorang imam sesungguhnya lebih baik, serupa dengan sembahyang Rasulullah”. Maka beliau satukan orang-orang itu sembahyang di belakang seorang imam, namanya Ubai bin Ka’ab.
Kemudian pada suatu malam kami datang lagi ke masjid, lalu kami melihat orang sembahyang berkaum-kaum di belakang seorang imam. Sayyidina Umar berkata: “Ini adalah bid’ah yang baik”.(Shahih Bukhari I – hal. 242)
Hadits ini tersebut juga dalam kitab “Muwatha’ Imam Mali k, Juz I – hal. 136 – 137.
Ternyatalah dari riwayat ini bahwa sembahyang tarawih berjama’ah terus menerus dalam bulan Ramadhan adalah pekerjaan bid’ah karena tidak dikenal pada zaman Nabi. Tetapi bid’ahnya menurut Sayyidina Umar, adalah baik, – bid’ah hasanah.

HADITS KE-8
Artinya:
Dari Saib bin Yazid beliau berkata: “Adalah azan di waktu Jum’at permulaannya apabila duduk Imam di ats mimbar pada zaman Nabi, pada masa Abu Bakar dan Umar ra. Ketika zaman Utsman ra. dimana orang sudah bertambah banyak maka beliau (Sayyidina Utsman) menambah azan yang ketiga di atas zaura.
(HR. Bukhari – Shahih Bukhari I – halaman 116)

Hadits ini menyatakan bahwa pada zaman Nabi dan masa Khalifah Abu Bakar dan Umar ra. azan waktu sembahyang Jum’at ada dua kali (satu azan dan qamat). Kemudian setelah manusia berkembang ditambah azan yang ketiga, (sekarang dinamai azan pertama) dalam sembahyang Jum’at.
Dengan demikian maka azan-azan yang pertama itu adalah “bid’ah” hasanah yang diadakan oleh Khalifah Rasyidin Sayyidina Utsman, yang kita diperintahkan oleh Nabi untuk mengikutinya.
Selain membukukan Qur’an, sembahyang tarawih berjama’ah terus-menerus pada bulan Ramadhan dan azan pertama pada waktu sembahyang Jum’at, ada lagi beberapa masalah agama lainnya yang diadakan oleh Khalifah-khalifah Rasyidin Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali ra.
Ummat Islam diperintahkan oleh Nabi Muhammad saw, supaya mengikuti sunnah Khalifah Rasyidin itu.
Barangsiapa yang tidak mau mengikuti sunnah Khalifah Rasyidin, berarti tidak mengikuti sunnah Nabi. Na’udzubillah!


HADITS KE-9
Beliau berkata begini:



Artinya:
Bahwasanya Huzaifah bin Yaman datang kepada Sayyidina Utsman (Khalifah ketiga). Ketika itu Huzaifah mengepalai jihad di daerah Syam dalam memerangi Armini dan Azarbaiyan. Huzaifah sangat terkejut mendengar perbedaan-perbedaan prajurit dalam membaca Al-Qur’an. Maka datanglah Huzaifah kepada Khalifah Utsman bin Affan, lalu beliau berkata: “Hai Khalifah, buru-burulah menolong ummat Islam sebelum mereka berselisih tentang kitab suci sebagai perselisihan Yahudi dan Nashara”.
Maka Sayyidina Utsman meminta kepada Siti Hafasah agar kumpulan Qur’an yang ada di tangan beliau diberikan kepadanya untuk disalin dan kemudian dikembalikan.
Maka Siti Hafsah memberikan mushaf yang disimpannya itu kepada Sayyidina Utsman bin Affan yang ketika itu menjadi Khalifah ke-3.
Sayyidina Utsman menunjuk empat orang sahabat  untuk menyalin Qur’an itu, yaitu:
1.   Zaid bin Tsabit, penulis wahyu di zaman Rasulullah,
2.   Abdullah bin Zuber,
3.   Said bin ‘Ash,
4.   Abdurrahman bin Harits bin Hisyam.
Dari uraian kedua hadits Bukhari nampak bahwa menuliskan Qur’an dalam satu mushaf adalah sunnah Khalifah Rasyidin yang belum dikenal pada zaman Nabi.
Ini boleh juga dikatakan bid’ah, tetapi bid’ah hasanah, yaitu bid’ah yang baik.
(H.R. Bukhari, lihat Fathul Bari X, hal. 390 – 396)
Dari keterangan hadits 1 sampai 5, betapa kita diwajibkan untuk mengikuti sunnah para sahabat yang tidak dikenal pada zaman Rasulullah Saw. Bahkan dalam hadits yang ke-4 selain ahlu sunnah wal jama’ah akan hancur. Dari keterangan hadits yang ke-6 pada zaman Rasulullah, cuma gandum, lembu emas dan perak. Tetapi pada zaman sekarang, padi, kerbau, uang kertas tidak dikenal (tidak ada haditsnya) akan tetapi tetap wajib dikeluarkan zakatnya. Ini juga bid’ah hasanah.
Description: ىهنةشفعملاهيشف.jpgDari keterangan hadits 7 – 9, betapa banyak bid’ah-bid’ah hasanah pada zaman sahabat. Bahkan Sayyidina Umar r.a. dengan terang mengatakan ini adalah bid’ah yang baik. Maka dengan demikian, pantaslah seperti imam mujtahid yang hafal ratusan ribu hadits yang membagikan 2 kelompok besar, bid’ah hasanah dan madhmumah. Dengan penjelasan hadits di atas yang dimaksud 


Dari potongan hadits yang ke-5 di atas dapat diambil maksud, “Ikutilah Sunnahku”, kata Nabi, “dan Sunnah Sahabatku baru”, bid’ah yang baru/menyimpang dari syari’at Islam yang baru dikatakan sesat, karena sangat banyak sekali bersangkutan dengan banyak hadits-hadits yang lain. Jika tidak asal bicara, usholli bid’ah, tahlil, maulid Nabi, yasinan sesat, baca burdah sesat. Kalau memahami hadits serampangan seperti ini semua sesat dengan sendirinya orang yang mengatakan sesat. Dia tidak merasa tiap hari melakukan kesesatan, mengapa tidak, Nabi pakai sorban, jubah, naik onta. Nah coba bayangkan sendiri, masjid pada saat itu, masjid Quba cuma dikelilingi tembok, tidak ada mihrob, menara dan sebagainya. Lebih jelas lagi sebagaimana yang termaktup hadits muslim.
Juga Nabi SAW pernah berkata: 

Artinya :    “Barangsiapa mengadakan sunnah yang bagus dalam Islam, maka diamalkan oleh orang kemudian, diberikan pahala sebagai pahala orang mengerjakan kemudian, dan tidak akan dikurangkan sedikitpun. Dan barangsiapa mengerjakan sunnah yang jelek diamalkan oleh orang, maka akan mendapat dosa seperti dosa orang yang mengerjakan kemudian, dan tidak dikurangkan sedikitpun
(HR. Muslim, syarah Muslim XIV – hal. 226)
Jelas sekali kita dianjurkan mengadakan sunnah hasanah (Bid’ah Hasanah), dalam hadits Muslim kita dianjurkan mengerjakan Bid’ah Hasanah asal tidak bertentangan dengan syareat Islam.
1.   Rosul mendengar sandal, sahabat Bilal di surga. Dengan apa engkau mendahului aku ke surga? Bilal menjawab, aku belum pernah berwudlu baik siang maupun malam kecuali aku melanjutkan dengan sholat sunnat 2 rokaat yang aku tentukan waktunya, padahal Rosul tidak menyareatkan. ( Lihat Bukhari Muslim, (1149) (6274) )
2.   Ibnu Abbas mundur dari barisan jamaah sholat Rasulullah atas inisiatifnya sendiri. Rosul bertanya, “Kenapa kamu mundur?, Ibnu Abbas menjawab, “Tidak selayaknya seorang makmum lurus di sampingmu ya Rosul”, Nabi senang mendengar jawaban tadi sampai sekarang menjadi ketetapan. ( Imam Ahmad (3061) )

Inilah faham ahlu sunnah wal jama’ah yang selalu berpegang teguh pada sunnah Rasul dan para sahabatnya juga tabi’it tabi’in, karena mereka puluhan tahun mendampingi Rasul. Lain halnya dengan faham selain ahlu sunnah wal jama’ah, yang selalu mengagungkan Ibnu Taimiyah, pindah ke Basyrah dan Kuffah. Dihujat karena fahamnya yang ganjil-ganjil ke sana kemari. Dihukum oleh penguasa. Dan yang terakhir ini dihukum 18 bulan, sampai meninggal dunia. Dalam tahanan, faham ini yang dibeking oleh seorang Yahudi, yang bernama Abu Saud. Kerajaan Saudi pada saat itu, jadi tidak heran kalau dalilnya selalu mengambil ayat-ayat kuffar, untuk menghantam kaum muslimin pada saat itu. Ziarah kubur syirik, tawassul syirik, sholawat, dzikir syirik. Faham ini dikembangkan oleh Abd. Wahab/Wahabi, dia sudah terkontaminasi oleh orang Inggris yang bernama Mr. Hemper. Umat Islam dihantam dari dalam Islam itu sendiri. Menabur fitnah kesana kemari, tuduhan-tuduhan bid’ah, khurafat, pemurnian tauhid pada intinya mau menghapuskan syareat Islam dari dalam. Faham ini dikembangkan oleh Imam Satibi yang membid’ahkan dzikir sesudah shalat, juga berjabat tangan sesudah sholat, padahal sudah jelas, sudah termaktub di dalam hadits Bukhori.

Lebih jauh lagi faham itu, dikembangkan oleh Wasil bin Athok dan Rasyid Ridho. Bahkan yang lebih ekstrim lagi menuduh Sayyidina Umar Ahli Bid’ah, akan tetapi kenapa pengikut-pengikut yang ada di Indoneisa ini rela sahabat kita tercinta dikatakan sesat, perampas kekuasaan dan sebagainya. Padahal sudah jelas firman Allah swt., “Dia dijamin masuk surga (QS. At-Taubah: 100) (“sahabat adalah Umat yang terbaik”) QS. Ali Imron: 110). Bahkan kata Nabi sahabat adalah pegangan bagi umatku (HR. Muslim). Sudah jelas kiranya kita ini termasuk golongan yang mana.

Dari uraian di atas, semoga kita pandai-pandai di dalam mengambil kesimpulan. Sabda Nabi Muhammad SAW.

Artinya: “Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka tiliklah dari siapa kamu mengambil pelajaran agamamu.”

Demikianlah risalah yang sederhana ini, semoga bermanfaat. Amin.

---ooo0ooo---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar