Minggu, 16 November 2014

Hukum Wanita Haid Membaca Al-Qur’an

Picture
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

1. Hukum Wanita Haid Membaca Al-Qur’an Oleh: Syaikh Shâlih Fauzân bin `Abdullâh Al-FauzânSyaikh Shâlih Fauzân bin `Abdullâh Al-Fauzân ditanya: Apakah boleh seorang wanita yang sedang haid membaca Alqur’ân dengan hafalan, jika hal ini tidak boleh maka apakah berdosa jika mengajari Alqurân kepada anak-anaknya khususnya jika mereka berada di madrasah dalam keadaan haid?Maka beliau menjawab: Seorang wanita yang haid tidak boleh membaca Alqur’ân baik dengan memegang mushaf atau dengan hafalan karena dia sedang berhadats besar dan orang yang berhadats besar seperti wanita haid dan orang yang junub tidak boleh membaca Aqur’ân karena Nabi -Shallallâhu `alaihi wa sallam- tidak membaca Alqur’ân jika beliau sedang junub. Dan haid adalah hadats besar seperti junub yang mencegah seseorang membaca Alqur’ân.Tetapi dalam keadaan takut lupa, yaitu jika wanita haid hafal beberapa surat Alqur’ân atau hafal Alqur’ân dan dia takut lupa jika tidak membaca, karena waktu haid itu lama sehingga Alqur’ân yang telah dihafalkan bisa lupa, maka tidak mengapa dia membaca Alqur’ân dalam keadaan ini, karena hal itu darurat, sebab kalau dia tidak membaca Alqur’ân maka dia akan lupa. Seperti itu juga seorang siswa, jika datang waktu ujian dalam materi Alqur’ân dan dia sedang haid kemudian masa haidnya lama sehingga tidak mungkin mengikuti ujian tersebut kecuali bila haidnya berhenti maka tidak mengapa dia membaca Alqur’ân untuk ujian. Sebab kalau dia tidak membacanya tentu ujiannya gagal dan dia tidak sukses dalam ujian Alqur’ân dan ini membahayakannya. Maka dalam keadaan ini juga, seorang siswi boleh membaca Alqur’ân untuk mengikuti ujian baik dengan hafalan dan dengan memegang mushaf, tetapi dengan syarat dia tidak menyentuhnya kecuali dengan penghalang (misalnya dengan memakai kaos tangan, pent).Adapaun wanita haid membaca Alqur’ân karena untuk mengajar, maka hal ini tidak boleh karena bukan darurat. Wallâhu a`lam.Sumber: فتاوى المرأة المسلمة كل ما يهم المرأة المسلمة في شؤون دينها ودنياها disusun oleh Abu Malik Muhammad bin Hamid bin Abdul Wahhab. Edisi Indonesia: Wanita Bertanya Ulama Menjawab (Kumpulan Fatwa tentang Wanita); hal. 118-119.
2. Hukum Wanita Haid Membaca Al-Quran? 
"Assalamualaikum Wr. Wb."Pengelola konsultasi agama yang saya hormati, ijinkan saya mengajukan beberapa pertanyaan berikut: pertama, apa hukum wanita yang sedang haid/nifas membaca al-Quran? Bagaimana kalau dia ingin belajar membaca al-Quran? Kedua, apa membaca al-Quran harus selalu membaca muskhaf Al Quran? Bagaimana kalau sudah hafal? Ketiga, apa wanita yang sedang haid/nifas boleh masuk ke masjid? Bagaimana kalau dia melakukan aktifitas di dalam masjid, misalnya pengajian, belajar membaca al- Quran?Terima kasih.Wasalammualaikum Wr. Wb.Tri-solo
"Jawaban"Alhamdulillah, as-sholatu was-salamu ‘ala rasulillah, la haula wala quwwata illa billah, waba’d.Pada dasarnya seorang muslim/muslimah dianjurkan untuk membaca al-Quran, karena membaca al-Quran merupakan bagian dari ibadah (al-muta’abbad bi tilawatihi). Namun untuk membaca al-Quran disyaratkan untuk bersuci terlebih dahulu dari hadats, baikhadats kecil maupun hadats besar. Nah, orang yang sedang haidh atau nifas adalah termasuk orang yang sedang menanggunghadats, oleh karenanya tidak boleh membaca al-Quran, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
(“Orang yang sedang haidh atau junub tidak boleh membaca sesuatu dari al-Quran” HR. at-Tirmidzi dan al-Baihaqi".)
Yang perlu diperhatikan bahwa pengertian “membaca” di sini adalah mengucapkan ayat-ayat al-Quran melalui mulut, baik dengan melihat mushhaf ataupun dengan mengucapkan ayat-ayat yang sudah dihafalnya. Sedangkan apabila orang yang sedang haidh/nifas tersebut hafal ayat-ayat al-Quran kemudian membacanya dalam hati, maka yang demikian itu dibolehkan.Memang, ada pendapat dalam mazhab Malikiyah yang membolehkan bagi orang haidh untuk membaca al-Quran, dengan alasan bahwa Sayyidatina Aisyah R.A. pernah membaca al-Quran dalam keadaan sedang haidh. Namun pendapat tersebut ditentang oleh sebagian besar (jumhur) ulama, dengan alasan bahwa apa yang dilakukan oleh sayyidatina Aisyah RA tersebut (jika riwayatnya dianggap shahih) bukan otomatis menunjukkan bolehnya membaca al-Quran bagi orang yang sedang haidh, karena bertentangan dengan sabda Nabi di atas dan bertentangan dengan pendapat para sahabat lainnya.Selain itu, orang yang sedang haidh/nifas juga dilarang untuk berdiam diri atau beraktivitas di masjid, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:“(Aku tidak menghalalkan masjid bagi orang yang sedang haidh ataupun yang junub” HR. al-Bahaqi.)"Namun apabila aktivitas yang dilakukan hanya sebentar (misalnya berjalan sepintas-lalu) dan yakin tidak akan mengotori masjid maka yang demikian itu dibolehkan (lihat: al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab). Dengan demikian menjadi jelas bahwa orang yang haidh/nifas tidak boleh beraktivitas terlalu lama di masjid, termasuk mengikuti pengajian apalagi belajar membaca al-Quran.Demikian penjelasan saya, semoga bermanfaat. Wallahu a'lam bishshawab. (Drs. H. Sholahudin Al-aiyub, M.Sc)
3. Bolehkah Wanita Haid Membaca Al-Quran?Tanya:Assalamu’alaikum, Pak Ustadz mau tanya:Bagaimana adab-adab membaca Al Quran, apakah wanita yang sedang berhalangan/haid boleh membaca Al Quran?Dan apakah tanpa wudhu juga boleh membaca Al Quran? Terima kasih atas jawabannya. Wassalamu’alaikum(Bu Elly, Pontianak)Jawab:Wa’alaikumsalam.Pertama:                                     "Diantara adab-adab membaca Al-Quran"1. Membaca ta’awwudz (a’udzu billahi minasysyaithanirrajim).Allah ta’alaa berfirman:(فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ) (النحل:98)“Apabila kamu membaca al-Qur’an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk.” (Qs. 16:98)2. Membaca Al-Quran dengan tartil (sesuai dengan kaidah-kaidah tajwid).Allah ta’alaa berfirman:(وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلاً) (المزمل:4)“Dan bacalah al-Qur’an itu dengan tartil.” (Qs. 73:4)3. Hendaklah dalam keadaan suci.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:إني كرهت أن أذكر الله إلا على طهر“Sungguh aku membenci jika aku berdzikir kepada Allah dalam keadaan tidak suci.” (HR. Abu Dawud, dan dishahihkan oleh Syeikh Al-Albany)4. Membersihkan mulut sebelum membaca Al-Quran dengan siwak atau sikat gigi atau yang lain.Berkata Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata:إن أفواهكم طرق للقرآن . فطيبوها بالسواك“Sesungguhnya mulut-mulut kalian adalah jalan-jalan Al-Quran, maka wangikanlah mulut-mulut kalian dengan siwak.” (Atsar ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Syeikh Al-Albany di Shahih Ibnu Majah 1/110-111).5. Memilih tempat yang bersih.6. Hendaknya merenungi apa yang terkandung di dalam Al-Quran.Allah ta’ala berfirman:(أَفَلا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلافاً كَثِيراً) (النساء:82)“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Alquran? Kalau kiranya Alquran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (Qs. 4:82)7. Memohon rahmat Allah jika melewati ayat-ayat rahmat dan meminta perlindungan dari kejelekan ketika melewati ayat-ayat adzab.Di dalam hadist Hudzaifah disebutkan bahwa suatu saat beliau shalat malam bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian beliau menceritakan bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca Al-Quran ketika shalat:إذا مر بآية فيها تسبيح سبح وإذا مر بسؤال سأل وإذا مر بتعوذ تعوذ“Jika melewati ayat yang di dalamnya ada tasbih (penyucian kepada Allah) maka beliau bertasbih, dan jika melewati ayat tentang permintaan maka beliau meminta, dan jika melewati ayat tentang memohon perlindungan maka beliau memohon perlindungan.” (HR. Muslim)8. Tidak membaca Al-Quran dalam keadaan mengantuk.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:إذا قام أحدكم من الليل فاستعجم القرآن على لسانه فلم يدر ما يقول فليضطجع“Kalau salah seorang dari kalian shalat malam kemudian lisannya tidak bisa membaca Al-Quran dengan baik (karena mengantuk) dan tidak tahu apa yang dikatakan maka hendaklah dia berbaring.” (HR. Muslim)(Lihat pembahasan lebih luas di At-Tibyan fii Aadaab Hamalatil Quran, An-Nawawy, dan Al-Itqan fii ‘Ulumil Quran, As-Suyuthi (1/276-299), Al-Burhan fii ‘Ulumil Quran, Az-Zarkasyi (1/449-480).
"Namun jika orang yang berhadats kecil dan wanita haid ingin membaca Al-Quran maka dilarang menyentuh mushhaf atau bagian dari mushhaf, dan ini adalah pendapat empat madzhab, Hanafiyyah (Al-Mabsuth 3/152), Malikiyyah (Mukhtashar Al-Khalil hal: 17-18), Syafi’iyyah (Al-Majmu’ 2/67), Hanabilah (Al-Mughny 1/137)."Mereka berdalil dengan firman Allah ta’alaa:لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ (الواقعة: 79)“Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang suci.” Sebagian ulama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mushaf yang kita dilarang menyentuhnya adalah termasuk kulitnya/sampulnya karena dia masih menempel. Adapun memegang mushhaf dengan sesuatu yang tidak menempel dengan mushhaf (seperti kaos tangan dan yang sejenisnya) maka diperbolehkan.

Yang lebih utama adalah membaca Al-Quran dalam keadaan suci, dan boleh membacanya dalam keadaan tidak suci karena hadats kecil.
Dan ini adalah kesepakatan para ulama.Berkata Imam An-Nawawy:أجمع المسلمون على جواز قراءة القرآن للمحدث الحدث الاصغر والأفضل أن يتوضأ لها
“Kaum muslimin telah bersepakat atas bolehnya membaca Al-Quran untuk orang yang tidak suci karena hadats kecil, dan yang lebih utama hendaknya dia berwudhu.” (Al-Majmu’, An-Nawawy 2/163).Diantara dalil yang menunjukan bolehnya membaca Al-Quran tanpa berwudhu adalah hadist Ibnu Abbas ketika beliau bermalam di rumah bibinya Maimunah radhiyallahu ‘anha (istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), beliau berkata:فنام رسول الله صلى الله عليه و سلم حتى إذا انتصف الليل أو قبله بقليل أو بعده بقليل استيقظ رسول الله صلى الله عليه و سلم فجلس يمسح النوم عن وجهه بيده ثم قرأ العشر الخواتم من سورة آل عمران“Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidur sampai ketika tiba tengah malam, atau sebelumnya atau sesudahnya, beliau bangun kemudian duduk dan mengusap muka dengan tangan beliau supaya tidak mengantuk, kemudian membaca sepuluh ayat terakhir dari surat Ali Imran.” (HR.Al-Bukhary)Di dalam hadist ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca Al-Quran setelah bangun tidur, sebelum beliau berwudhu.Imam Al-Bukhary telah meletakkan hadist ini di beberapa bab di dalam kitab beliau (Shahih Al-Bukhary) diantaranya di bawah bab:باب قراءة القرآن بعد الحدث وغيره“Bab Membaca Al-Quran setelah hadats dan selainnya”Namun sekali lagi, tidak boleh bagi orang yang berhadats kecil menyentuh mushaf secara langsung.Wallahu a’lam.Ustadz Abdullah Roy, Lc
Baca selengkapnya: 
Alhamdulillah, wash-shalatu was-salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du:Dalam hal membaca Al-Qur’an, jumhur (mayoritas) ulama madzhab berpendapat bahwa, wanita yang berhalangan tidak boleh melakukannya, baik dari hafalannya maupun apalagi dengan memegang dan membawa mushaf Al-Qur’an. Mereka berdalil dengan beberapa hadits antara lain hadits Ibnu ‘Umar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda (yang artinya): “Orang yang junub dan wanita yang haid tidak boleh membaca sesuatupun dari Al-Qur’an” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah). Dan juga hadits Jabir riwayat Ad-Daruquthni yang hampir semakna dengan hadits Ibnu ‘Umar.
Hanya saja para ulama itu memperbolehkan baginya mengucapkan do’a-do’a dan dzikir-dzikir dari Al-Qur’an, dengan niat membacanya sebagai do’a dan dzikir dan bukan sebagai ayat Al-Qur’an. Sementara itu sebagian ulama, antara lain Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, memperbolehkan membaca Al-Qur’an dari hafalan bagi seorang hafidzah (wanita penghafal Al-Qur’an) yang sedang berhalangan, untuk menjaga hafalannya agar tidak hilang. Sebagian ulama yang lainnya lagi juga memperbolehkan bagi wanita haid untuk membaca ayat-ayat dan surat-surat tertentu untuk kebutuhan perlindungan diri, seperti ayat Al-Kursi, surat Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Naas dan lain-lain.
Bahkan ada imam-imam dan ulama-ulama besar, antara lain Imam Al-Bukhari, Ath-Thabarani, Dawud Adz-Dzahiri, Ibnu Hazm dan lain-lain, yang memperbolehkan bagi wanita yang berhalangan untuk membaca Al-Qur’an secara umum, selama itu dilakukan dengan tanpa memegang kitab mushaf Al-Qur’an. Mereka berdalil dengan keumuman makna hadits ‘Aisyah: “Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa berdzikir kepada Allah di dalam segala kedaan beliau” (HR. Muslim). Dan membaca Al-Qur’an adalah termasuk dzikir.
Begitu pula mereka berdalil dengan kaidah al-baraa-ah al-ashliyah (bahwa hukum asal segala sesuatu adalah boleh), selama tidak ada dalil shahih khusus yang melarang. Dan faktanya dalil shahih khusus yang melarang itu tidak ada. Karena menurut pendapat beliau-beliau ini, hadits-hadits yang dijadikan dalil larangan, seperti yang telah disebutkan diatas itu misalnya, adalah dha’if semuanya. Imam Ibnu Hajar berkata: “Menurut Imam Al-Bukhari, tidak ada satu haditspun yang shahih dalam masalah ini”.
Nah dengan mengacu pada pendapat Imam Al-Bukhari, Ath-Thabarani dan lainnya tersebut, serta berdasarkan adanya kebutuhan yang sangat penting, seperti kebutuhan perlindungan diri, penjagaan kondisi rohani, muraja’ah(mengulang) hafalan, belajar-mengajar Al-Qur’an, dan lain-lain, maka boleh dan ditolerir bagi wanita yang sedang berhalangan untuk tetap membaca Al-Qur’an, tapi dengan syarat tidak menyentuh, memegang atau membawa mushaf Al-Qur’an. Melainkan ia bisa membacanya dari hafalannya, atau melalui sarana komputer, laptop, aplikasi al-qur’an di handphone, dan lain-lain. Tentu saja disamping ia harus lebih banyak mendengarkan tilawah Al-Qur’an.


"KARENA AL-QURAN ADALAH KITAB SUCI KITA SUDAH SEHARUSNYA KITA YANG MEMBACANYA HARUS SUCI DARI HADAST BESAR DAN KECIL" bukti rasa Syukur dan penghargaan kepada kitab suci Al-Quran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar